www.hukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1957
TENTANG
Menimbang:
bahwa
sudah tiba waktunya untuk mengganti Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951
tentang Penyelesaian
Perselisihan
Perburuhan;
bahwa
perlu diadakan peraturan baru untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan
perburuhan;
Mengingat:
Pasal 21
dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
MEMUTUSKAN:
I.
Mencabut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan;
II.
Menetapkan:
"Undang-undang
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan".
Bagian I
Tentang Istilah-Istilah Dalam Undang-Undang Ini
Pasal 1
(1) Dalam
undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
a. buruh,
ialah barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah;
b.
majikan, ialah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh;
c.
perselisihan perburuhan, ialah pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan
serikat
buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian
paham
mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan;
d.
tindakan tersebut pada Pasal 6 undang-undang ini, ialah salah satu dari
perbuatan-perbuatan
sebagai
berikut:
1. dari
pihak majikan: menolak buruh-buruh seluruhnya atau sebahagian untuk menjalankan
pekerjaan
sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk
menekan
atau membantu majikan lain menekan supaya buruh menerima hubungan kerja,
syarat-syarat
kerja dan/atau keadaan perburuhan;
2. dari
pihak buruh: secara kolektif menghentikan pekerjaan atau memperlambat jalannya
pekerjaan,
sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk
menekan
atau membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima
hubungan
kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan;
e.
Pegawai, ialah pegawai Kementrian Perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan
untuk
memberikan
perantaraan dalam perselisihan perburuhan;
f. Panitia
Daerah, ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah tersebut pada
Pasal 5;
g. Panitia
Pusat, ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tersebut pada
Pasal 12.
(2)
Termasuk perbuatan-perbuatan secara kolektif ialah perbuatan-perbuatan yang
pada lahirnya tersendiri,
tetapi
sebenarnya mempunyai hubungan sedemikian, sehingga dapat dianggap sebagai
pernyataan dari
kehendak
bersama.
(3)
Termasuk majikan ialah wakilnya di Indonesia daripada majikan di luar negeri.
Bagian II
Tentang Penyelesaian Di Daerah
Pasal 2
(1)
Bilamana terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan
mencari penyelesaian
perselisihan
itu secara damai dengan jalan perundingan.
(2)
Persetujuan yang tercapai karena perundingan itu dapat disusun menjadi
perjanjian perburuhan menurut
ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam Undang-undang Perjanjian Perburuhan.
Pasal 3
(1) Jika
dalam perundingan itu oleh pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat
diperoleh penyelesaian,
serta
mereka tidak bermaksud untuk menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan
dengan
arbitrase
oleh juru/dewan pemisah, seperti dimaksudkan pada Pasal 19 dan seterusnya, maka
hal
demikian
oleh pihak-pihak tersebut atau oleh salah satu dari mereka, diberitahukan
dengan surat kepada
Pegawai.
(2)
Pemberitahuan termaksud pada ayat di atas berarti permintaan kepada Pegawai
tersebut untuk
memberikan
perantaraan guna mencari penyelesaian dalam perselisihan tersebut, perantaraan
mana
harus
diberikan.
Pasal 4
(1) Segera
sesudah menerima pemberitahuan tersebut pada Pasal 3 ayat 1 Pegawai itu
mengadakan
penyelidikan
tentang duduknya perkara perselisihan dan tentang sebabnya dan selambat-lambatnya
dalam
waktu 7 hari, terhitung mulai tanggal penerimaan surat pemberitahuan di atas,
sudah mengadakan
perantaraan
menurut cara dan ketentuan-ketentuan yang berlaku buat perantaraan oleh Panitia
Daerah
sebagaimana
tersebut pada Pasal 7 ayat (2)
(2) Jika Pegawai
berpendapat, bahwa suatu perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan
perantaraan
olehnya.,
maka hal itu oleh Pegawai segera diserahkan kepada Panitia Daerah, dengan
memberitahukan
hal itu
kepada pihak-pihak yang berselisih.
Pasal 5
(1) Di
tempat-tempat yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan dibentuk Panitia-panitia
Penyelesaian
Perselisihan
Perburuhan Daerah.
(2)
Panitia terdiri dari seorang wakil Kementrian Perburuhan, sebagai Ketua
merangkap anggota, dan
anggota-anggota
lainnya terdiri dari seorang wakil Kementrian Perekonomian, seorang wakil
Kementrian
Keuangan,
seorang wakil Kementrian Pertanian serta seorang wakil Kementrian Perhubungan,
5 orang
dari
kalangan buruh dan 5 orang dari kalangan majikan.
Untuk
tiap-tiap anggota ditunjuk seorang anggota pengganti.
(3) Ketua,
anggota-anggota serta anggota-anggota pengganti diangkat dan diperhentikan oleh
Menteri
Perburuhan
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Daerah
kekuasaan tiap-tiap Panitia, peraturan tata-tertib, penggantian kerugian untuk
pekerjaan yang
dilakukan
serta susunan kepaniteraannya ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 6
(1) Jika
dalam suatu perselisihan satu pihak hendak melakukan tindakan terhadap pihak
lainnya, maka
maksud
mengadakan tindakan itu harus diberitahukan dengan surat kepada pihak lainnya
dan kepada
Ketua
Panitia Daerah. Dalam surat tersebut harus diterangkan pula bahwa benar-benar
telah diadakan
perundingan
yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan antara buruh dan majikan, yang
diketuai
atau diperantarai oleh Pegawai, atau bahwa benar-benar permintaan untuk
berunding telah
ditolak
oleh pihak lainnya, atau telah dua kali dalam jangka waktu 2 minggu tidak
berhasil mengajak pihak
lainnya
untuk berunding mengenai hal-hal yang menjadi perselisihan.
(2)
Penerimaan pemberitahuan tersebut pada ayat 1 serta tanggal hari penerimaan itu
dicatat oleh Ketua
Panitia
Daerah dan diberitahukan dengan surat kepada pihak-pihak yang berselisih.
(3)
Tindakan tersebut pada ayat (1) : hanya boleh dilakukan sesudah pihak yang
bersangkutan menerima
Surat
tanda penerimaan pemberitahuan dari Ketua Panitia Daerah.
(4) Surat
tanda penerimaan pemberitahuan tersebut pada ayat (3) hanya diberikan oleh
Ketua Panitia Daerah
segera
dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, setelah dia menerima surat pemberitahuan
tersebut pada
ayat (1),
terhitung mulai tanggal penerimaan surat tersebut.
Pasal 7
(1)
Panitia Daerah memberikan perantaraan untuk menyelesaikan perselisihan segera
setelah menerima
penyerahan
perkara perselisihan termaksud pada Pasal 4 ayat (2).
(2)
Panitia Daerah segera mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang berselisih
dan mengusahakan
serta
memimpin perundingan-perundingan antara pihak-pihak. yang berselisih ke arah
mencapai
penyelesaian
secara damai.
(3)
Persetujuan yang tercapai karena perundingan-perundingan sebagai termaksud pada
ayat (2) di atas dan
karena
perundingan-perundingan termaksud pada Pasal 4 ayat (1) mempunyai kekuatan
hukum sebagai
perjanjian
perburuhan.
Pasal 8
(1)
Panitia Daerah dalam usahanya menyelesaikan suatu perselisihan perburuhan
mempergunakan segala
daya upaya
dan menimbang sesuatu dengan mengingat hukum, perjanjian-perjanjian yang ada,
kebiasaan,
keadilan dan kepentingan Negara.
(2)
Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak
yang berselisih
supaya
mereka menerima suatu penyelesaian yang tertentu.
(3)
Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang bersifat mengikat, bilamana suatu
perselisihan sukar
dapat
diselesaikan dengan suatu putusan yang berupa anjuran.
Pasal 9
(1)
Putusan Panitia Daerah memuat:
a. nama
serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka;
b.
ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan
lebih lanjut dari kedua
belah
pihak;
c.
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok
putusan, yang juga memuat pernyataan apakah putusan bersifat anjuran atau
mengikat.
(2)
Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu
diambil dan ditandatangani
oleh ketua
dan paniteranya.
(3) Segera
sesudah diambil putusan, salinan surat putusan tersebut disampaikan kepada
kedua belah pihak
yang
berselisih dengan surat tercatat atau dengan perantaraan pegawai kepaniteraan,
masing-masing
selembar.
Pasal 10
(1)
Putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dapat mulai dilaksanakan bila
terhadapnya dalam 14 hari
setelah
putusan itu diambil, tidak dimintakan pemeriksaan ulangan pada Panitia Pusat.
(2) Jika
perlu untuk melaksanakan suatu putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat,
maka oleh pihak
yang
bersangkutan dapat dimintakan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat
kedudukan
pihak, terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, supaya putusan itu
dinyatakan dapat
dijalankan.
(3)
Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka
putusan itu dilaksanakan
menurut
aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.
Bagian III
Tentang Penyelesaian Di Pusat
Pasal 11
(1)
Terhadap putusan panitia Daerah yang bersifat mengikat, kecuali bila putusan
itu mengenai soal-soal
yang
khusus bersifat lokal, yang ditentukan oleh Panitia Pusat, dalam 14 hari
setelah putusan itu diambil,
salah satu
pihak yang berselisih dapat memintakan pemeriksaan ulangan pada Panitia Pusat.
(2)
Permintaan pemeriksaan ulangan dinyatakan pada panitera Panitia Daerah yang
bersangkutan, yang
mencatatnya
dalam daftar yang disediakan untuk itu dan lantas meneruskannya ke Panitia
Pusat disertai
surat-surat
yang berhubungan dengan perkaranya.
(3)
Panitia Pusat dapat menarik suatu perselisihan perburuhan dari tangan
Pegawai/Panitia Daerah untuk
diselesaikan,
bila perselisihan perburuhan itu menurut pendapat Panitia Pusat dapat
membahayakan
kepentingan
negara atau kepentingan umum, penarikan mana diberitahukan kepada
Pegawai/Panitia
Daerah
serta pihak-pihak yang berselisih.
Pasal 12
(1)
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat berkedudukan di Jakarta dan
terdiri dari:
Seorang
wakil Kementrian Perburuhan sebagai Anggota merangkap Ketua dan
Seorang
wakil Kementrian Perekonomian,
Seorang
wakil Kementrian Keuangan,,
Seorang
wakil Kementrian Pertanian,
Seorang
wakil Kementrian Perhubungan,
5 orang
dari kalangan buruh dan
5 orang
dari kalangan majikan sebagai Anggota.
Untuk
tiap-tiap Anggota ditunjuk seorang anggota pengganti.
(2) Ketua,
anggota-anggota dan anggota-anggota pengganti dari Panitia Pusat diangkat dan
diberhentikan
oleh Dewan
Menteri dengan surat keputusan Presiden, atas usul Menteri Perburuhan menurut
ketentuanketentuan
yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Tata
tertib Panitia Pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)
Penggantian kerugian untuk pekerjaan yang dilakukan serta susunan
kepaniteraannya ditetapkan oleh
Menteri
Perburuhan.
Pasal 13
Putusan
Panitia Pusat bersifat mengikat dan dapat mulai dilaksanakan, bila dalam 14
hari setelah putusan itu
diambil,
Menteri Perburuhan tidak membatalkan putusan atau menunda pelaksanaan putusan
itu.
Pasal 14
(1)
Putusan Panitia Pusat memuat:
a. nama
serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka;
b.
ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan
lebih lanjut dari kedua
pihak;
c.
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok
putusan.
(2)
Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu
diambil dan ditandatangani
oleh Ketua
dan Paniteranya.
(3) Segera
sesudah diambil putusan, maka putusan tersebut diberitahukan kepada kedua belah
pihak yang
berselisih
dengan surat tercatat atau dengan perantaraan pegawai kepaniteraan.
Pasal 15
Dalam
memberikan putusannya, Panitia Pusat menimbang sesuatu dengan mengingat hukum,
perjanjian yang
ada,
kebiasaan, keadilan dan kepentingan Negara.
Pasal 16
(1) Jika
perlu untuk melaksanakan sesuatu putusan Panitia Pusat, maka oleh pihak yang
bersangkutan dapat
dimintakan
pada Pengadilan Negeri di Jakarta, supaya putusan itu dinyatakan dapat
dijalankan.
(2)
Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka
putusan itu dilaksanakan
menurut
aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan sesuatu putusan perdata.
Pasal 17
(1)
Menteri Perburuhan dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan suatu putusan
Panitia Pusat, jika
yang
demikian itu dipandangnya perlu untuk memelihara ketertiban umum serta
melindungi kepentingankepentingan
Negara.
(2)
Pembatalan atau penundaan pelaksanaan putusan tersebut dalam ayat 1 diambil
setelah Menteri
Perburuhan
berunding dengan Menteri-menteri yang kementriannya mempunyai wakil dalam
Panitia
Pusat.
(3) Dalam
surat keputusan pembatalan atau penundaan suatu putusan Panitia Pusat, diatur
pula akibatakibat
dari
pembatalan atau penundaan itu.
(4) Di
mana perlu keputusan yang mengatur akibat-akibat pembatalan atau penundaan
dapat dilaksanakan
sebagai
putusan Panitia Pusat.
Bagian IV
Tentang Enquete
Pasal 18
(1) Jika
dalam mengurus perselisihan Panitia Pusat/Panitia Daerah tidak cukup mempunyai
keteranganketerangan
atau
bahan-bahan yang dianggap perlu untuk dapat mengambil putusan, maka Panitia
Pusat/Panitia
Daerah dapat memutuskan untuk mengadakan enquete.
(2) Enquete
dapat pula diadakan bila dalam suatu perselisihan akan atau telah dilakukan
tindakan oleh
sesuatu
pihak yang berselisih dan perselisihan itu dapat membahayakan kepentingan umum
atau
kepentingan
Negara. Dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berselisih wajib menerima
perantaraan
atau
penyelesaian perselisihan oleh Panitia Pusat/Daerah.
(3) Untuk
keperluan penyelidikan tersebut pada ayat (1) dan (2) Panitia Pusat/Panitia
Daerah membentuk
suatu
Panitia Enquete, menentukan bentuk dan tugasnya dan menetapkan dalam beberapa
lama enquete
itu harus
selesai.
(4)
Panitia Enquete setelah selesai pekerjaannya atau sedang masih melakukan
pekerjaannya,
menyampaikan
laporan tentang hasil penyelidikannya disertai pendapatnya tentang penyelesaian
kepada
Panitia
Pusat/Panitia Daerah.
(5) Selama
diadakan enquete pihak-pihak yang berselisih tidak boleh melakukan tindakan.
Bagian V
Tentang Arbitrase
Pasal 19
(1)
Majikan dan buruh yang terlibat dalam perselisihan perburuhan, atas kehendak
mereka sendiri atau atas
anjuran
dari Pegawai atau Panitia Daerah yang memberikan perantaraan, dapat menyerahkan
perselisihan
mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah.
(2)
Penyerahan pada juru pemisah atau dewan pemisah dinyatakan dengan surat
perjanjian antara kedua
belah
pihak dihadapkan pegawai atau Panitia Daerah tersebut.
Dalam
surat perjanjian tersebut diterangkan:
a.
pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan kepada
juru atau
dewan
pemisah untuk diselesaikan;
b.
nama-nama pengurus atau wakil (wakil-wakil) serikat buruh dan majikan serta
tempat kedudukan
mereka;
c. siapa
yang ditunjuk menjadi juru pemisah/dewan pemisah serta tempat tinggalnya;
d. bahwa
kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan diambil oleh juru
pemisah/dewan
pemisah,
setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum;
e. hal-hal
yang perlu untuk melancarkan pemisahan.
(3)
Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah begitu pula tata acara
pemisahan terserah
pada
persetujuan kedua belah pihak, sedang Pegawai atau Panitia Daerah yang
memberikan
perantaraan
dapat pula dipilih menjadi juru pemisah/dewan pemisah atau atas permintaan
membantu
kedua
belah pihak dalam pemilihan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah dan
penyusunan
tata acara
pemisahan.
(4)
Putusan juru pemisah atau dewan pemisah sesudah disahkan oleh Panitia Pusat
mempunyai kekuatan
hukum
sebagai putusan Panitia Pusat.
(5)
Panitia Pusat hanya dapat menolak pengesahan, jikalau ternyata putusan tadi melampaui
kekuasaan juru
atau dewan
pemisah atau di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukkan itikad buruk atau
yang
bertentangan
dengan undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
(6)
Akibat-akibat penolakan pada ayat (5) diatur oleh Panitia Pusat.
Pasal 20
(1)
Putusan tersebut memuat:
a. hal-hal
yang termuat dalam surat perjanjian tersebut dalam Pasal 19 ayat (2);
b.
ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan
lebih lanjut dari kedua
belah
pihak;
c.
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok
putusan.
(2)
Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu
diambil dan ditandatangani
oleh juru
pemisah atau oleh anggota-anggota dewan pemisah.
Pasal 21
Terhadap
putusan juru pemisah/dewan pemisah tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan.
Pasal 22
(1) Jika
perlu untuk melaksanakan suatu putusan juru/dewan pemisah yang sudah disahkan
oleh Panitia
Pusat,
maka oleh pihak yang bersangkutan dapat dimintakan pada Pengadilan Negeri yang
daerah
hukumnya
meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan,
supaya putusan
itu
dinyatakan dapat dijalankan.
(2)
Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka
putusan itu dilaksanakan
menurut
aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.
Bagian VI
Tentang Ketentuan-Ketentuan Lain
Pasal 23
(1)
Menjelang atau selama berlangsung usaha-usaha penyelesaian perselisihan menurut
undang-undang ini
majikan
dan buruh dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat atau berupa
pembalasan.
(2)
Termasuk perbuatan-perbuatan yang bersifat atau berupa pembalasan antara lain
perubahan hubungan
kerja,
syarat-syarat perburuhan dan/atau keadaan perburuhan yang ada, yang justru
sedang menjadi
perselisihan.
(3)
Tindakan-tindakan demikian adalah tidak sah.
Pasal 24
Bilamana
dalam waktu pelaksanaan persetujuan majikan atau pengurus atau pimpinan
berganti, maka majikan
baru atau
pengurus atau pimpinan baru tetap terikat pada persetujuan yang telah tercapai
dalam penyelesaian
perselisihan
menurut undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Barang
siapa diminta bantuannya oleh Pegawai, Panitia Daerah, Panitia Pusat, Panitia
Enquete, juru atau
dewan
pemisah atau Menteri Perburuhan guna penyelidikan untuk keperluan penyelesaian
perselisihan
berdasarkan
undang-undang ini, berkewajiban untuk memberikannya dengan tiada bersyarat,
begitu pula
atas
permintaan berkewajiban membukakan buku-buku dan memperlihatkan surat-surat
yang diperlukan.
(2) Barang
siapa dipanggil oleh pejabat-pejabat atau badan-badan tersebut pada ayat (1)
untuk, menjadi
saksi atau
ahli, berkewajiban untuk memenuhi panggilan itu dan memberikan keterangan atau
jasanya,
jika perlu
di bawah sumpah.
(3) Saksi
dan ahli yang memenuhi panggilan dapat menerima penggantian kerugian dan ongkos
jalan
menurut
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
(4) Barang
siapa yang di dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan undang-undang
ini
mengetahui
sesuatu yang harus dirahasiakan, wajib merahasiakannya kecuali jika dalam
menjalankan
tugas
kewajiban itu, ia perlu memberitahukannya.
Bagian VII
Tentang Aturan Hukuman
Pasal 26
Dihukum
dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya sepuluh ribu
rupiah:
1. barang
siapa melanggar Pasal 6 ayat (3);
2. barang
siapa melakukan tindakan setelah ada:
a. putusan
Panitia Daerah yang bersifat mengikat seperti dimaksud pada Pasal 8 ayat (3);
b. putusan
Panitia Pusat seperti dimaksud pada Pasal 13;
c. putusan
juru/dewan pemisah seperti dimaksud pada Pasal 19;
d. putusan
Menteri Perburuhan tersebut pada Pasal 17.
3. barang
siapa tidak tunduk pada putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dan tidak
dapat
dimintakan
pemeriksaan ulangan lagi seperti termaksud pada Pasal 10 ayat (1);
4. barang
siapa tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat yang dapat mulai dilaksanakan
termaksud pada
Pasal 13;
5. barang
siapa tidak tunduk pada putusan Menteri Perburuhan tersebut pada Pasal 17;
6. barang
siapa menolak perantaraan atau penyelesaian seperti dimaksud pada Pasal 1 8
ayat (12) atau
melanggar
Pasal 1 8 ayat (5);
7. barang
siapa tidak tunduk pada putusan juru/dewan pemisah yang telah mempunyai
kekuatan hukum
termaksud
pada Pasal 19 ayat (4);
8. barang
siapa tidak memenuhi kewajiban menurut Pasal 25 ayat (1) dan (2).
Pasal 27
(1) Jika
sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam undang-undang ini dilakukan oleh
sesuatu badan
hukum atau
perserikatan, maka tuntutan ditujukan serta hukuman dijatuhkan terhadap
pengurus atau
pemimpin-pemimpin
badan hukum atau perserikatan itu.
(2) Jika
pimpinan badan hukum atau perserikatan dipegang oleh badan hukum atau
perserikatan lain, maka
ketentuan
pada ayat (1) berlaku bagi pengurus badan hukum atau perserikatan yang memegang
pimpinan
itu.
Pasal 28
(1) Barang
siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya menurut Pasal
25 ayat
(4)
dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya enam bulan atau denda
sebanyak-banyaknya
dua puluh
ribu rupiah.
(2) Barang
siapa karena kekhilafannya menyebabkan rahasia itu terbuka, dihukum dengan
hukuman
kurungan
setinggi-tingginya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu
rupiah.
(3) Tidak
ada tuntutan terhadap hal-hal pada ayat (1) dan (2) kecuali jika ada pengaduan
dari yang
berkepentingan.
Pasal 29
Hal-hal
yang diancam dengan hukuman pada Pasal 26 dianggap sebagai pelanggaran, pada
Pasal 28 ayat (1)
dan (2)
sebagai kejahatan.
Pasal 30
Selain
daripada pegawai-pegawai yang pada umumnya diwajibkan mengusut
perbuatan-perbuatan yang dapat
dikenakan
hukuman, diwajibkan juga mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman menurut
undang-undang
ini, pegawai-pegawai Kementrian Perburuhan yang ditunjuk oleh Jaksa Agung pada
Mahkamah
Agung atas
usul Menteri Perburuhan.
Bagian VIII
Ketentuan Peralihan
Pasal 31
(1)
Perselisihan perburuhan yang pada saat mulai berlakunya undang-undang ini
berada di tangan Panitia
Daerah dan
Panitia Pusat menurut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 dilanjutkan
penyelesaiannya
menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.
(2)
Ketentuan-ketentuan peralihan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian IX
Ketentuan Terakhir
Pasal 32
Undang-undang
ini mulai berlaku pada hari yang ditetapkan kemudian dengan Peraturan
Pemerintah.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan
penempatan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 8 April 1957
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUKARNO
Diundangkan
Pada
Tanggal 8 April 1957
MENTERI
KEHAKIMAN, ai
Ttd.
SUNARYO
MENTERI
PERBURUHAN,
Ttd.
SABILAL
RASJAD
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1957 NOMOR 42
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1957
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN
MENGENAI USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
PERBURUHAN
UMUM
1. Dalam
menjelaskan dasar-dasar dan alasan-alasan undang-undang ini, sebagai kata
pendahuluan akan
diberikan
ikhtisar ringkas tentang riwayat penyelesaian perselisihan perburuhan di negeri
kita dalam
waktu yang
singkat sebelum pengakuan kedaulatan dan sesudahnya.
Dalam
waktu yang singkat sebelum pengakuan kedaulatan perselisihan-perselisihan
perburuhan belum
meningkat
kepada taraf yang penting. Ini disebabkan karena pada waktu itu seluruh rakyat,
juga kaum
buruh dan
organisasi-organisasinya, sibuk mencurahkan tenaga dan perhatiannya kepada
perjuangan
kemerdekaan,
yaitu perjuangan yang bersifat politis. Lagi pula dalam Republik pada waktu itu
perusahaan-perusahaan
penting dikuasai oleh Negara sehingga pertentangan antara buruh dan majikan
tidak
begitu terasa.
Perselisihan-perselisihan
perburuhan yang besar dan penting yang disertai pemogokan-pemogokan mulai
timbul
setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum buruh dan rakyat pada umumnya dengan
penuh
kesadaran
akan harga pribadi sendiri mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan
dalam
lapangan
sosial-ekonomi. Sampai permulaan tahun 1951 negara kita belum mempunyai
peraturan
tertentu
untuk menyelesaikan masalah tersebut, pada waktu itu perselisihan-perselisihan
perburuhan
diurus dan
diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri (majikan dan buruh), di
mana perlu
dicampuri
oleh pegawai-pegawai Kementrian Perburuhan di pusat dan di daerah berdasarkan
instruksiinstruksi
dari
Menteri Perburuhan.
Cara kerja
demikian itu tidak memberikan hasil yang diinginkan dan inilah yang mendorong
Pemerintah
untuk
mengadakan peraturan tertentu tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
2. Dalam
menghadapi kegelisahan di lapangan perburuhan yang mulai menghebat, Pemerintah
pada bulan
Pebruari
1951 sebagai usaha pertama telah mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer No. 1
tahun 1951
untuk
mengatasi keadaan pada waktu itu.
Di dalam
pertimbangannya dikemukakan bahwa pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
membutuhkan
jaminan keamanan dan ketertiban, bahwa pemogokan pada umumnya dan pemogokan
khususnya
dalam perusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan dan badan-badan vital dapat
mengganggu
keamanan
dan ketertiban umum yang membahayakan negara, bahwa perlu diadakan larangan
terhadap
pemogokan
di perusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan dan badan-badan vital dan akhirnya
bahwa
perlu pula
diadakan aturan supaya perselisihan antara buruh dan majikan dari
perusahaan-perusahaan,
jawatan-jawatan
dan badan-badan lainnya dapat diselesaikan sedemikian, sehingga keamanan dan
ketertiban
tidak terganggu.
Dalam
praktek ternyata bahwa Peraturan itu hanya sanggup mengatasi sebagian saja kesulitan-kesulitan
yang
timbul dalam lapangan perburuhan.
3.
Berhubung dengan itu maka Pemerintah pada bulan September 1951 sebagai usaha
yang kedua dalam
daya-upayanya
untuk memecahkan kesulitan-kesulitan perburuhan secara lebih memuaskan telah
memaklumkan.
Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, yang meskipun belum sempurna, tetapi
sudah
merupakan perbaikan banyak, bila dibandingkan dengan peraturan kekuasaan
militer.
Undang-undang
Darurat itu mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Pusat dan menetapkan
peraturanperaturan
baru
tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam
sejarah selama kurang lebih lima tahun Undang-undang Darurat itu dapat
menyelesaikan hampir
semua
perselisihan-perselisihan perburuhan besar dan kecil dan sanggup menurunkan
jumlah-jumlah
pemogokan
sampai ke angka yang sekecil-kecilnya sebagai ternyata dari statistik-
statistik yang diadakan
untuk
keperluan itu.
Jadi,
ditinjau dari sudut kesanggupan untuk menstabilisasi keadaan perburuhan dapat
dikatakan bahwa
Undang-undang
Darurat itu berhasil baik, jumlah jam kerja yang hilang dan kerugian yang
diakibatkannya
dalam
lapangan produksi turun sampai ke angka yang kecil sekali.
Akan
tetapi hasil-hasil dari Undang-undang Darurat itu menjadi kurang artinya karena
Undang-undang
tersebut
masih kurang disenangi oleh buruh maupun majikan.
Berhubung
dengan itu, Pemerintah Wilopo dalam keterangannya dihadapan Dewan Perwakilan
Rakyat
menyatakan:
"Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 sebagai pengganti Peraturan
Larangan Mogok
dan
lock-out dari pihak kekuasaan militer dan yang mengatur cara-cara penyelesaian
perselisihan
perburuhan
itu, hanya bersifat peraturan peralihan belaka.
Pemerintah
mengakui bahwa Undang-undang Darurat tersebut masih perlu diperbaiki dan
disempurnakan.
Sekarang
Pemerintah sedang menyiapkan suatu Undang-undang yang denifitif tentang hal
itu.
Tetapi
sebelum undang-undang baru yang akan menggantikan Undang-undang Darurat itu
diajukan
kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Kabinet Wilopo telah jatuh terlebih dahulu.
Kabinet
Ali-Wongso yang menggantikan Kabinet Wilopo, dalam penjelasan programnya
mengenai soalsoal
perburuhan
di hadapan Dewan Perwakilan rakyat di antaranya mengemukakan: "Telah
dimaklumi
oleh
Pemerintah, bahwa Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 mengenai perselisihan
perburuhan
tidak
disenangi oleh sebagian dari buruh.
Ternyata
di dalam praktek bahwa dengan adanya Undang-undang Darurat itu ada setengah
buruh dan
setengah
pengusaha tidak mau berunding dan menyerahkan saja penyelesaian perselisihan
kepada P-4.
Hal yang
demikian itu tentu tidak menambah pengertian yang baik antara buruh dan
pengusaha. Maka
karena itu
Pemerintah akan segera mencabut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 itu dan
mengajukan
suatu rancangan Undang-undang yang akan menetapkan ketentuan-ketentuan baru
tentang
penyelesaian
perselisihan perburuhan dengan dasar-dasar baru, antara lain mewajibkan buruh
dan
pengusaha
merundingkan masak-masak perselisihan mereka terlebih dahulu sebelum mengajukan
perselisihan
itu kepada instansi pemerintah.
Melihat
lemahnya kedudukan setengah serikat buruh dibandingkan dengan kedudukan yang
kuat dari
pada
pengusaha besar, percampuran tangan Pemerintah dalam penyelesaian perselisihan
perburuhan
kiranya
masih diperlukan, meskipun percampuran tangan itu tidak lagi mendalam seperti
yang dikerjakan
oleh P-4
sekarang."
4.
Berhubung dengan adanya keberatan-keberatan baik dari pihak buruh maupun dari
pihak majikan,
Kementrian
Perburuhan telah berulang-ulang mengadakan pertukaran pikiran dengan
organisasiorganisasi
buruh dan
majikan.
Dari pihak
organisasi buruh disarankan dua macam tindakan :
a.
mencabut Undang-undang Darurat tersebut;
b.
mencabut Undang-undang Darurat itu dengan disertai penggantinya yang sifatnya
lebih demokratis,
lebih
menjamin hak-hak asasi dan menguntungkan buruh.
Dari pihak
majikan, sunguhpun dimajukan keberatan-keberatan juga, tidak terdengar
saran-saran yang
konkrit
mengenai isi perubahan atau pengganti Undang-undang Darurat No. 16 itu.
Pada
hakikatnya keberatan-keberatan itu sebagian besar berpangkal pada peninjauan
soal-soalnya
semata-mata
dari sudut kepentingan yang bersangkutan, sedangkan Pemerintah sebagai wakil
dari
seluruh
rakyat dalam masyarakat, yang terdiri dari golongan-golongan dan
kalangan-kalangan yang
kepentingannya
bersangkut-paut, harus memimpin dalam kepentingan yang bersamaan dan
mendamaikan
dalam kepentingan yang bertentangan, yang sudah barang tentu tidak dapat
memuaskan
sepenuhnya
semua pihak.
Akan
tetapi di samping oposisi dari banyak serikat buruh dan keberatan-keberatan
dari pihak pengusaha,
yang
tempo-tempo memang berisi inti dari kebenaran, juga Pemerintah telah mengalami
banyak hal yang
menyebabkan
Pemerintahpun menemui kesukaran-kesukaran dalam melaksanakan penyelesaian
perselisihan
perburuhan menurut Undang-undang Darurat itu.
Kesukaran-kesukaran
dan kekecewaan-kekecewaan itu antara lain adalah :
a. dalam
mengajukan tuntutan dan menyelesaikan perselisihan, pihak-pihak yang
bersangkutan, oleh
karena
hubungan yang kurang baik disebabkan berbagai hal, terlalu banyak menyerahkan
penyelesaian
perselisihan kepada alat-alat Pemerintah sedang pihak-pihak yang bersangkutan
terlalu
bersikap pasif. Keadaan yang demikian itu kurang bersifat mendidik bagi
pertumbuhan
hubungan
yang baik antara buruh dan majikan dan pertumbuhan pergerakan buruh yang sehat,
kuat dan
baik.
b.
kegiatan P-4 pusat atau P-4 daerah serta prosedur penyelesaian perselisihan
sekarang ini
menyebabkan
organisasi-organisasi buruh kurang sempurna menyusun tuntutan-tuntutan mereka,
demikian
juga memperjuangkannya, tuntutan mereka acapkali tidak terang, dan acapkali
juga tidak
memuat
inti persoalan yang dituntut.
c.
berhubung dengan terlalu banyak perselisihan besar dan kecil yang diserahkan
untuk diselesaikan,
maka
pekerjaan alat-alat Pemerintah (P-4) acapkali berada dalam keadaan tergesa-gesa
karena
senantiasa
dikejar waktu.
d.
Pemerintah (Kementrian Perburuhan) terlalu menjadi bulan-bulanan dari segala
kritik. Mengingat ke
semua itu
maka Pemerintah sekarang untuk ketiga kalinya berusaha menyusun suatu
Undangundang
yang
diharapkan dapat lebih memuaskan keinginan-keinginan yang timbul dan hidup
dalam
masyarakat
mengenai penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam
Undang-undang yang baru ini tetap diusahakan penyelesaian
perselisihan-perselisihan
perburuhan
secara cepat dan efektif, tetapi juga sangat diperhatikan beberapa prinsip yang
menjadi
kepentingan
asasi pergerakan buruh sedangkan kepentingan-kepentingan kaum pengusaha pun
tidak
diabaikan.
5. Cara
dan tingkat-tingkat penyelesaian perselisihan perburuhan menurut Undang-undang
ini adalah
sebagai
berikut:
a.
Undang-undang ini hanya meliputi penyelesaian perselisihan antara majikan dan
Serikat Buruh,
perselisihan
antara majikan dan buruh, perseorangan dan sekelompok buruh tidak diliputi oleh
Undang-undang
ini.
b. Perlu
ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Undang-undang ini ialah bahwa
dalam
tingkat
pertama pihak-pihak yang berselisih harus sendiri menyelesaikan
kesukaran-kesukaran
mereka
dalam lapang perburuhan dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua
belah
pihak.
Bila
perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan, persetujuan
itu disusun
menjadi
suatu perjanjian perburuhan. Bila perundingan itu tidak memberikan hasil,
pihak-pihak
yang
berselisih menempuh jalan arbitrase yang diatur lebih lengkap dalam
Undang-undang ini.
Bila
arbitrase tidak dikehendaki, mereka dapat minta perantaraan dari Pegawai
Kementrian
Perburuhan
yang khusus ditunjuk untuk itu.
Permintaan
perantaraan dilakukan dengan surat yang pula berisi pernyataan bahwa
perundingan
langsung
antara kedua pihak tidak memberikan hasil serta mereka tidak bermaksud untuk
menyerahkan
perselisihannya kepada juru/dewan pemisah.
Segera
setelah menerima pemberitahuan itu, Pegawai mencoba mendamaikan kedua pihak
Bila
menurut Pegawai daya upayanya tidak (akan) berhasil, perantaraan selanjutnya
diserahkan
kepada
Panitia Daerah.
Dalam hal
perundingan yang dilakukan di bawah pimpinan Pegawai/Panitia Daerah
menghasilkan
persetujuan.
Persetujuan itu disusun merupakan suatu perjanjian perburuhan.
Bila tidak
tercapai persetujuan, Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang berupa
anjuran.
Dalam
hal-hal tertentu, yaitu bila perselisihan sukar untuk diselesaikan dengan suatu
anjuran,
Panitia
Daerah berhak juga memberikan putusan yang bersifat mengikat.
Terhadap
putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat, dalam 14 hari dapat dimintakan
pemeriksaan
ulangan pada Panitia Pusat, kecuali bila putusan itu mengenai soal-soal yang
khusus
bersifat
lokal, hal mana ditentukan oleh Panitia Pusat. Jika putusan mengikat dari
Panitia Daerah
yang tidak
dapat dibanding lagi, tidak ditaati secara sukarela, pelaksanaannya dapat
dimintakan
pada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap
siapa
putusan
itu akan dijalankan.
Untuk
selanjutnya putusan itu dilaksanakan menurut aturan yang berlaku untuk
melaksanakan
suatu
putusan perdata.
Selanjutnya,
siapa yang tidak tunduk pada putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dan
tidak
dapat
dibanding lagi, dapat pula dituntut secara hukum pidana.
Bila suatu
perselisihan perburuhan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan
umum,
Panitia Pusat dapat menarik perselisihan perburuhan itu dari tangan Pegawai
atau Panitia
Daerah
untuk diselesaikan.
c. Putusan
Panitia Pusat semuanya bersifat mengikat dan terhadapnya tidak dapat dimintakan
banding.
Hanya sebagai hak kecualian dalam hal-hal tertentu Menteri Perburuhan dapat
membatalkan
atau menunda pelaksanaan putusan Panitia Pusat. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi
untuk menggunakan hak veto sebagai berikut :
1.
pembatalan (penundaan pelaksanaan) itu perlu untuk memelihara ketertiban umum
serta
melindungi
kepentingan-kepentingan Negara.
2.
pembatalan (penundaan pelaksanaan) harus didahului oleh perundingan dengan
Menterimenteri
yang
Kementriannya mempunyai wakil dalam Panitia Pusat.
3. hak
veto harus dipergunakan dalam waktu 14 hari sesudah penanggalan keputusan Panitia
Pusat.
Jika
Menteri Perburuhan menggunakan hak vetonya, ia harus mengatur sendiri
akibat-akibatnya dalam suatu
keputusan.
Keputusan
itu jika perlu dapat dilaksanakan menurut cara untuk melaksanakan putusan
Panitia Pusat.
Jika
putusan Panitia Pusat yang dapat mulai dilaksanakan tidak ditaati secara
sukarela, pelaksanaannya dapat
dimintakan
kepada Pengadilan Negeri di Jakarta oleh yang berkepentingan.
Untuk
selanjutnya putusan itu dilaksanakan menurut aturan yang berlaku untuk
melaksanakan suatu putusan
perdata.
Selanjutnya
siapa yang tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat yang mulai dapat
dilaksanakan, dapat pula
dituntut
secara hukum pidana.
Jika suatu
pihak hendak melakukan tindakan, maka maksud itu harus diberitahukan dengan
surat kepada pihak
lawan
serta kepada Panitia Daerah. Tindakan baru dapat dilakukan setelah diterima
surat tanda penerimaan
pemberitahuan.
Surat
tanda penerimaan pemberitahuan itu oleh Ketua Panitia Daerah hanya diberikan
bila ternyata, bahwa:
1. telah
diadakan perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan dengan
pihak lawan
yang
diketuai atau diperantarai oleh Pegawai;
2. pihak
lawan menolak untuk mengadakan perundingan;
3. pihak
yang hendak melakukan tindakan telah dua kali dalam jangka waktu 2 minggu,
tidak berhasil
mengajak
pihak lainnya untuk berunding mengenai hal-hal pokok perselisihan.
Tindakan
yang hendak/telah dilakukan hanya dapat diperintahkan ditunda, bila hendak
diadakan enouete.
Selanjutnya
majikan dan buruh dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat atau
berupa
pembalasan.
Tindakan-tindakan
demikian adalah tidak sah.
Panitia
Daerah/Pusat disusun berdasarkan asas tripartite; perbandingan wakil
Pemerintah/Buruh/Majikan dalam
Panitia
Daerah adalah 5:5:5 dan dalam Panitia Pusat juga 5:5:5.
Untuk
mempertinggi derajat Panitia Pusat maka pengangkatan/ pemberhentian
anggota-anggotanya dilakukan
oleh Dewan
Menteri dengan surat keputusan Presiden. Anggota-anggota Panitia Daerah
diangkat/diperhentikan
oleh
Menteri Perburuhan.
Akhirnya
akan diberikan ikhtisar mengenai perbedaan antara Undang-undang ini dengan
Undang-undang
Darurat
No. 16/1951:
1.
Perselisihan perburuhan dibatasi hingga Serikat Buruh saja (pasal 1 , ayat 1,
sub. c).
2.
Perundingan yang diwajibkan antara pihak-pihak yang berselisih (pasal 2, jo.
pasal 6, ayat 4).
3. Susunan
dari P-4 Daerah dirubah: Yang diwakili sekarang hanya Kementrian Perburuhan,
Kementrian
Perekonomian,
Kementrian Keuangan, diwakili juga kepentingan-kepentingan buruh dan majikan
(pasal 5,
ayat 2).
4.
Tenggang waktu 3 minggu tidak dimuat lagi (pasal 6).
5. P-4
Daerah dalam hal-hal tertentu berhak memberikan keputusan mengikat (pasal 8
ayat 3).
6.
Permintaan pemeriksaan ulangan kepada P-4. Pusat hanya mungkin terhadap
perselisihan-perselisihan
yang tidak
khusus bersifat lokal (pasal 11).
7. Semua
keputusan-keputusan dari P-4 Pusat bersifat mengikat (pasal 13).
8. Hak
veto dari Menteri Perburuhan (pasal 13,jo. pasal 17).
9.
Pengangkatan dan pemberhentian dari anggota-anggota P-4. Pusat oleh Dewan
Menteri dengan surat
Keputusan
Presiden (pasal 12, ayat 2).
10.
Susunan P-4 Pusat dirubah anggota-anggotanya tidak lagi terdiri dari
Menteri-menteri, tetapi dari wakilwakil
lima
Kementrian dan wakil-wakil buruh dan majikan (tripartite; pasal 12).
11. Hak
untuk mengadakan suatu enquete tidak lagi pada Menteri Perburuhan tetapi pada
P-4 Pusat c.q. P-4
Daerah
(pasal 18, ayat 1).
12.
Kemungkinan untuk mengadakan angket diperluas (pasal 18 ayat 2).
13.
Menjelang atau selama berlangsung perselisihan dilarang mengadakan
tindakan-tindakan pembalasan
(pasal 23
ayat 1).
14. Jumlah
aturan-aturan hukuman lebih banyak (pasal 26).
15. Tata
cara diatur lebih luas (pasal 9, 14, 19, ayat 2 dan pasal 20).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini
memuat keterangan tentang istilah-istilah yang dipakai dalam Undang-undang ini.
Pasal 2
Sebagai
telah diterangkan dalam penjelasan umum, undang-undang ini berpokok pangkal
kepada asas, bahwa
daya upaya
terutama untuk menyelesaikan perselisihan adalah permusyawaratan. Daya upaya
lain baru dapat
dipikirkan,
bila permusyawaratan langsung tidak memberikan hasil.
Baru dalam
tingkat inilah ada alasan untuk minta percampuran tangan pihak ketiga.
Pasal 3
Tidak
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 4
Tidak
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 5
Tidak
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 6
Syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan suatu tindakan, sudah dijelaskan pada
penjelasan umum.
Bila
syarat itu dipenuhi, tindakan lantas dapat dilakukan.
Syarat itu
lebih ringan dari apa yang tersebut dalam Undang-undang Darurat karena dulu
pihak yang hendak
mengambil
tindakan harus tunggu 3 minggu. Sekarang jangka waktu itu tidak ada sama
sekali.
Pasal 7
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 8
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 9
Untuk
menjamin kesatuan dalam putusan-putusan Panitia Daerah, maka di sini ditetapkan
syarat-syarat yang
harus
dipenuhi.
Pasal 10
Karena
menurut kenyataan masih timbul keragu-raguan tentang sikap apa yang harus
diambil, bila pihak lain
menolak
untuk melaksanakan putusan yang bersifat mengikat dan dapat mulai dilaksanakan,
dianggap perlu
untuk
menjelaskan, bahwa terhadap pihak yang lalai demikian dapat dilakukan sanksi
pidana (lihat pasal 26)
maupun
sanksi perdata, yaitu meminta kepada Pengadilan supaya putusan tersebut
dinyatakan dapat
dijalankan.
Berhubung dengan jalan-jalan yang dapat ditempuh ini, tidak perlu dan juga
tidak pada tempatnya
untuk
lantas mengadakan tindakan, bila pihak lawan tidak bersedia melaksanakan
putusan demikian.
Pasal 11
Dalam
memberi isi lebih lanjut kepada pengertian istilah "perselisihan khusus
bersifat lokal" dapat dipilih antara
dua cara:
Isi
pengertian itu ditetapkan untuk seterusnya dalam suatu rumus abstrak yang harus
dianggap meliputi semua
hal-hal,
atau pemberian isi lebih lanjut kepada pengertian itu diserahkan kepada
instansi yang memutus, yang
dapat
memperhatikan semua hal-ihwal yang konkret dari soal yang dihadapi.
Cara
pertama sifatnya statis dan tidak memungkinkan pertumbuhan berhubung dengan
berubahnya keadaan.
Karena
pengertian "perselisihan yang khusus bersifat lokal" dalam
pelaksanaannya yang konkret mempunyai
unsur yang
dinamis, maka di sini dipilih cara kedua. Tidak perlu dikhawatirkan, bahwa cara
ini seolah-olah
memberi
jalan kepada instansi yang memutuskan untuk bertindak sewenang-wenang.
Dalam
waktu yang singkat tentu akan tumbuh jurisprudensi tertentu yang akan memberi
cukup pegangan untuk
dijadikan
pedoman, sedangkan penyesuaian pengertian itu kepada keadaan yang telah
berubah, tidak
terhalang.
Selanjutnya
susunan Panitia adalah sedemikian, sehingga kekhawatiran demikian tidak perlu
timbul. Kadangkadang
suatu
perselisihan perburuhan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan
umum.
Dalam hal
demikian penyelesaian dalam tingkat daerah mungkin tidak memberi jaminan untuk
penyelesaian
secara
integral yang memuaskan. Ayat 3 membuka kemungkinan untuk penyelesaian secara
langsung oleh
Panitia
Pusat dengan melewati Pegawai/Panitia Daerah.
Pasal 12
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 13
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 14
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 15
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 16
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 17
Setelah
apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Pasal 18
Acapkali
suatu penyelesaian dipersukar oleh karena tidak cukupnya bahan-bahan atau
karena bahan-bahan
yang
dikemukakan demikian teknisnya, sehingga memerlukan penyelidikan lebih lanjut
dari ahli-ahli dalam
lapang
tertentu. Dalam hal demikian pembentukan Panitia Engeuete dapat memudahkan
penyelesaian.
Pasal 19
Arbitrase
ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu
badan yang dipilih oleh
pihak-pihak
yang berselisih.
Justru
karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka
sebagai salah satu
keuntungannya
dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah
adalah
lebih
besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat
negara.
Sampai
sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh
pihak-pihak yang berselisih,
mungkin
karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung
dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk
selanjutnya jalan ini
akan lebih
sering ditempuh.
Dalam pada
itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan
pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan
arbitrase, dapat
membahayakan
dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap
putusan arbitrase
tidak
dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada
Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan
putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 20
Arbitrase
ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu
badan yang dipilih oleh
pihak-pihak
yang berselisih.
Justru
karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka
sebagai salah satu
keuntungannya
dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah
adalah
lebih
besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat
negara.
Sampai
sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh
pihak-pihak yang berselisih,
mungkin
karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung
dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk
selanjutnya jalan ini
akan lebih
sering ditempuh.
Dalam pada
itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan
pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan
arbitrase, dapat
membahayakan
dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap
putusan arbitrase
tidak
dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada
Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan
putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 21
Arbitrase
ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu
badan yang dipilih oleh
pihak-pihak
yang berselisih.
Justru
karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka
sebagai salah satu
keuntungannya
dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah
adalah
lebih
besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat
negara.
Sampai
sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh
pihak-pihak yang berselisih,
mungkin
karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung
dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk
selanjutnya jalan ini
akan lebih
sering ditempuh.
Dalam pada
itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan
pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan
arbitrase, dapat
membahayakan
dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap
putusan arbitrase
tidak
dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada
Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan
putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 22
Arbitrase
ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu
badan yang dipilih oleh
pihak-pihak
yang berselisih.
Justru
karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka
sebagai salah satu
keuntungannya
dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah
adalah
lebih
besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat
negara.
Sampai
sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh
pihak-pihak yang berselisih,
mungkin
karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung
dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk
selanjutnya jalan ini
akan lebih
sering ditempuh.
Dalam pada
itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan
pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan
arbitrase, dapat
membahayakan
dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap
putusan arbitrase
tidak
dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada
Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan
putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 23
Ketentuan
seperti dalam pasal ini perlu ditetapkan supaya jangan terjadi
perbuatan-perbuatan yang bersifat
pembalasan.
Pasal 24
Maksud
pasal ini ialah untuk menjamin supaya persetujuan/ keputusan yang telah
tercapai tidak menjadi hampa
belaka
dengan penggantian majikan atau pengurus/pimpinan baru yang menyatakan tidak
bertanggung-jawab
terhadap
perbuatan-perbuatan majikan atau pengurus/pimpinan lain.
Pasal 25
Dengan sendirinya
pemukaan buku-buku sebagai dimaksudkan di sini, dilakukan terhadap orang
(orang) yang
ahli dalam
soal pembukuan, yang untuk ini ditunjuk oleh Pegawai, Panitia Daerah, Panitia
Pusat, Panitia
Enquete,
jurus (dewan) pemisah atau Menteri Perburuhan.
Pasal-pasal
selanjutnya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Diketahui
MENTERI
KEHAKIMAN a.i
Ttd.
SOENARJO
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1227
0 komentar:
Posting Komentar