Kamis, 12 April 2012

UU REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1957 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN


www.hukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1957
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN
Menimbang:
bahwa sudah tiba waktunya untuk mengganti Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan;
bahwa perlu diadakan peraturan baru untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan perburuhan;
Mengingat:
Pasal 21 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
MEMUTUSKAN:
I. Mencabut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
II. Menetapkan:
"Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan".
Bagian I
Tentang Istilah-Istilah Dalam Undang-Undang Ini
Pasal 1
(1) Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
a. buruh, ialah barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah;
b. majikan, ialah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh;
c. perselisihan perburuhan, ialah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan
serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan;
d. tindakan tersebut pada Pasal 6 undang-undang ini, ialah salah satu dari perbuatan-perbuatan
sebagai berikut:
1. dari pihak majikan: menolak buruh-buruh seluruhnya atau sebahagian untuk menjalankan
pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk
menekan atau membantu majikan lain menekan supaya buruh menerima hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan;
2. dari pihak buruh: secara kolektif menghentikan pekerjaan atau memperlambat jalannya
pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk
menekan atau membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan;
e. Pegawai, ialah pegawai Kementrian Perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan untuk
memberikan perantaraan dalam perselisihan perburuhan;
f. Panitia Daerah, ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah tersebut pada Pasal 5;
g. Panitia Pusat, ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tersebut pada Pasal 12.
(2) Termasuk perbuatan-perbuatan secara kolektif ialah perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tersendiri,
tetapi sebenarnya mempunyai hubungan sedemikian, sehingga dapat dianggap sebagai pernyataan dari
kehendak bersama.
(3) Termasuk majikan ialah wakilnya di Indonesia daripada majikan di luar negeri.
Bagian II
Tentang Penyelesaian Di Daerah
Pasal 2
(1) Bilamana terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian
perselisihan itu secara damai dengan jalan perundingan.
(2) Persetujuan yang tercapai karena perundingan itu dapat disusun menjadi perjanjian perburuhan menurut
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Perjanjian Perburuhan.
Pasal 3
(1) Jika dalam perundingan itu oleh pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat diperoleh penyelesaian,
serta mereka tidak bermaksud untuk menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan dengan
arbitrase oleh juru/dewan pemisah, seperti dimaksudkan pada Pasal 19 dan seterusnya, maka hal
demikian oleh pihak-pihak tersebut atau oleh salah satu dari mereka, diberitahukan dengan surat kepada
Pegawai.
(2) Pemberitahuan termaksud pada ayat di atas berarti permintaan kepada Pegawai tersebut untuk
memberikan perantaraan guna mencari penyelesaian dalam perselisihan tersebut, perantaraan mana
harus diberikan.
Pasal 4
(1) Segera sesudah menerima pemberitahuan tersebut pada Pasal 3 ayat 1 Pegawai itu mengadakan
penyelidikan tentang duduknya perkara perselisihan dan tentang sebabnya dan selambat-lambatnya
dalam waktu 7 hari, terhitung mulai tanggal penerimaan surat pemberitahuan di atas, sudah mengadakan
perantaraan menurut cara dan ketentuan-ketentuan yang berlaku buat perantaraan oleh Panitia Daerah
sebagaimana tersebut pada Pasal 7 ayat (2)
(2) Jika Pegawai berpendapat, bahwa suatu perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan perantaraan
olehnya., maka hal itu oleh Pegawai segera diserahkan kepada Panitia Daerah, dengan memberitahukan
hal itu kepada pihak-pihak yang berselisih.
Pasal 5
(1) Di tempat-tempat yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan dibentuk Panitia-panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah.
(2) Panitia terdiri dari seorang wakil Kementrian Perburuhan, sebagai Ketua merangkap anggota, dan
anggota-anggota lainnya terdiri dari seorang wakil Kementrian Perekonomian, seorang wakil Kementrian
Keuangan, seorang wakil Kementrian Pertanian serta seorang wakil Kementrian Perhubungan, 5 orang
dari kalangan buruh dan 5 orang dari kalangan majikan.
Untuk tiap-tiap anggota ditunjuk seorang anggota pengganti.
(3) Ketua, anggota-anggota serta anggota-anggota pengganti diangkat dan diperhentikan oleh Menteri
Perburuhan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Daerah kekuasaan tiap-tiap Panitia, peraturan tata-tertib, penggantian kerugian untuk pekerjaan yang
dilakukan serta susunan kepaniteraannya ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 6
(1) Jika dalam suatu perselisihan satu pihak hendak melakukan tindakan terhadap pihak lainnya, maka
maksud mengadakan tindakan itu harus diberitahukan dengan surat kepada pihak lainnya dan kepada
Ketua Panitia Daerah. Dalam surat tersebut harus diterangkan pula bahwa benar-benar telah diadakan
perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan antara buruh dan majikan, yang
diketuai atau diperantarai oleh Pegawai, atau bahwa benar-benar permintaan untuk berunding telah
ditolak oleh pihak lainnya, atau telah dua kali dalam jangka waktu 2 minggu tidak berhasil mengajak pihak
lainnya untuk berunding mengenai hal-hal yang menjadi perselisihan.
(2) Penerimaan pemberitahuan tersebut pada ayat 1 serta tanggal hari penerimaan itu dicatat oleh Ketua
Panitia Daerah dan diberitahukan dengan surat kepada pihak-pihak yang berselisih.
(3) Tindakan tersebut pada ayat (1) : hanya boleh dilakukan sesudah pihak yang bersangkutan menerima
Surat tanda penerimaan pemberitahuan dari Ketua Panitia Daerah.
(4) Surat tanda penerimaan pemberitahuan tersebut pada ayat (3) hanya diberikan oleh Ketua Panitia Daerah
segera dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, setelah dia menerima surat pemberitahuan tersebut pada
ayat (1), terhitung mulai tanggal penerimaan surat tersebut.
Pasal 7
(1) Panitia Daerah memberikan perantaraan untuk menyelesaikan perselisihan segera setelah menerima
penyerahan perkara perselisihan termaksud pada Pasal 4 ayat (2).
(2) Panitia Daerah segera mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang berselisih dan mengusahakan
serta memimpin perundingan-perundingan antara pihak-pihak. yang berselisih ke arah mencapai
penyelesaian secara damai.
(3) Persetujuan yang tercapai karena perundingan-perundingan sebagai termaksud pada ayat (2) di atas dan
karena perundingan-perundingan termaksud pada Pasal 4 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum sebagai
perjanjian perburuhan.
Pasal 8
(1) Panitia Daerah dalam usahanya menyelesaikan suatu perselisihan perburuhan mempergunakan segala
daya upaya dan menimbang sesuatu dengan mengingat hukum, perjanjian-perjanjian yang ada,
kebiasaan, keadilan dan kepentingan Negara.
(2) Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih
supaya mereka menerima suatu penyelesaian yang tertentu.
(3) Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang bersifat mengikat, bilamana suatu perselisihan sukar
dapat diselesaikan dengan suatu putusan yang berupa anjuran.
Pasal 9
(1) Putusan Panitia Daerah memuat:
a. nama serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka;
b. ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan lebih lanjut dari kedua
belah pihak;
c. pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok putusan, yang juga memuat pernyataan apakah putusan bersifat anjuran atau mengikat.
(2) Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu diambil dan ditandatangani
oleh ketua dan paniteranya.
(3) Segera sesudah diambil putusan, salinan surat putusan tersebut disampaikan kepada kedua belah pihak
yang berselisih dengan surat tercatat atau dengan perantaraan pegawai kepaniteraan, masing-masing
selembar.
Pasal 10
(1) Putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dapat mulai dilaksanakan bila terhadapnya dalam 14 hari
setelah putusan itu diambil, tidak dimintakan pemeriksaan ulangan pada Panitia Pusat.
(2) Jika perlu untuk melaksanakan suatu putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat, maka oleh pihak
yang bersangkutan dapat dimintakan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak, terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, supaya putusan itu dinyatakan dapat
dijalankan.
(3) Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka putusan itu dilaksanakan
menurut aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.
Bagian III
Tentang Penyelesaian Di Pusat
Pasal 11
(1) Terhadap putusan panitia Daerah yang bersifat mengikat, kecuali bila putusan itu mengenai soal-soal
yang khusus bersifat lokal, yang ditentukan oleh Panitia Pusat, dalam 14 hari setelah putusan itu diambil,
salah satu pihak yang berselisih dapat memintakan pemeriksaan ulangan pada Panitia Pusat.
(2) Permintaan pemeriksaan ulangan dinyatakan pada panitera Panitia Daerah yang bersangkutan, yang
mencatatnya dalam daftar yang disediakan untuk itu dan lantas meneruskannya ke Panitia Pusat disertai
surat-surat yang berhubungan dengan perkaranya.
(3) Panitia Pusat dapat menarik suatu perselisihan perburuhan dari tangan Pegawai/Panitia Daerah untuk
diselesaikan, bila perselisihan perburuhan itu menurut pendapat Panitia Pusat dapat membahayakan
kepentingan negara atau kepentingan umum, penarikan mana diberitahukan kepada Pegawai/Panitia
Daerah serta pihak-pihak yang berselisih.
Pasal 12
(1) Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat berkedudukan di Jakarta dan terdiri dari:
Seorang wakil Kementrian Perburuhan sebagai Anggota merangkap Ketua dan
Seorang wakil Kementrian Perekonomian,
Seorang wakil Kementrian Keuangan,,
Seorang wakil Kementrian Pertanian,
Seorang wakil Kementrian Perhubungan,
5 orang dari kalangan buruh dan
5 orang dari kalangan majikan sebagai Anggota.
Untuk tiap-tiap Anggota ditunjuk seorang anggota pengganti.
(2) Ketua, anggota-anggota dan anggota-anggota pengganti dari Panitia Pusat diangkat dan diberhentikan
oleh Dewan Menteri dengan surat keputusan Presiden, atas usul Menteri Perburuhan menurut ketentuanketentuan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Tata tertib Panitia Pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Penggantian kerugian untuk pekerjaan yang dilakukan serta susunan kepaniteraannya ditetapkan oleh
Menteri Perburuhan.
Pasal 13
Putusan Panitia Pusat bersifat mengikat dan dapat mulai dilaksanakan, bila dalam 14 hari setelah putusan itu
diambil, Menteri Perburuhan tidak membatalkan putusan atau menunda pelaksanaan putusan itu.
Pasal 14
(1) Putusan Panitia Pusat memuat:
a. nama serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka;
b. ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan lebih lanjut dari kedua
pihak;
c. pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok putusan.
(2) Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu diambil dan ditandatangani
oleh Ketua dan Paniteranya.
(3) Segera sesudah diambil putusan, maka putusan tersebut diberitahukan kepada kedua belah pihak yang
berselisih dengan surat tercatat atau dengan perantaraan pegawai kepaniteraan.
Pasal 15
Dalam memberikan putusannya, Panitia Pusat menimbang sesuatu dengan mengingat hukum, perjanjian yang
ada, kebiasaan, keadilan dan kepentingan Negara.
Pasal 16
(1) Jika perlu untuk melaksanakan sesuatu putusan Panitia Pusat, maka oleh pihak yang bersangkutan dapat
dimintakan pada Pengadilan Negeri di Jakarta, supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalankan.
(2) Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka putusan itu dilaksanakan
menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan sesuatu putusan perdata.
Pasal 17
(1) Menteri Perburuhan dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan suatu putusan Panitia Pusat, jika
yang demikian itu dipandangnya perlu untuk memelihara ketertiban umum serta melindungi kepentingankepentingan
Negara.
(2) Pembatalan atau penundaan pelaksanaan putusan tersebut dalam ayat 1 diambil setelah Menteri
Perburuhan berunding dengan Menteri-menteri yang kementriannya mempunyai wakil dalam Panitia
Pusat.
(3) Dalam surat keputusan pembatalan atau penundaan suatu putusan Panitia Pusat, diatur pula akibatakibat
dari pembatalan atau penundaan itu.
(4) Di mana perlu keputusan yang mengatur akibat-akibat pembatalan atau penundaan dapat dilaksanakan
sebagai putusan Panitia Pusat.
Bagian IV
Tentang Enquete
Pasal 18
(1) Jika dalam mengurus perselisihan Panitia Pusat/Panitia Daerah tidak cukup mempunyai keteranganketerangan
atau bahan-bahan yang dianggap perlu untuk dapat mengambil putusan, maka Panitia
Pusat/Panitia Daerah dapat memutuskan untuk mengadakan enquete.
(2) Enquete dapat pula diadakan bila dalam suatu perselisihan akan atau telah dilakukan tindakan oleh
sesuatu pihak yang berselisih dan perselisihan itu dapat membahayakan kepentingan umum atau
kepentingan Negara. Dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berselisih wajib menerima perantaraan
atau penyelesaian perselisihan oleh Panitia Pusat/Daerah.
(3) Untuk keperluan penyelidikan tersebut pada ayat (1) dan (2) Panitia Pusat/Panitia Daerah membentuk
suatu Panitia Enquete, menentukan bentuk dan tugasnya dan menetapkan dalam beberapa lama enquete
itu harus selesai.
(4) Panitia Enquete setelah selesai pekerjaannya atau sedang masih melakukan pekerjaannya,
menyampaikan laporan tentang hasil penyelidikannya disertai pendapatnya tentang penyelesaian kepada
Panitia Pusat/Panitia Daerah.
(5) Selama diadakan enquete pihak-pihak yang berselisih tidak boleh melakukan tindakan.
Bagian V
Tentang Arbitrase
Pasal 19
(1) Majikan dan buruh yang terlibat dalam perselisihan perburuhan, atas kehendak mereka sendiri atau atas
anjuran dari Pegawai atau Panitia Daerah yang memberikan perantaraan, dapat menyerahkan
perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah.
(2) Penyerahan pada juru pemisah atau dewan pemisah dinyatakan dengan surat perjanjian antara kedua
belah pihak dihadapkan pegawai atau Panitia Daerah tersebut.
Dalam surat perjanjian tersebut diterangkan:
a. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan kepada juru atau
dewan pemisah untuk diselesaikan;
b. nama-nama pengurus atau wakil (wakil-wakil) serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan
mereka;
c. siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah/dewan pemisah serta tempat tinggalnya;
d. bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan diambil oleh juru pemisah/dewan
pemisah, setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum;
e. hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisahan.
(3) Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah begitu pula tata acara pemisahan terserah
pada persetujuan kedua belah pihak, sedang Pegawai atau Panitia Daerah yang memberikan
perantaraan dapat pula dipilih menjadi juru pemisah/dewan pemisah atau atas permintaan membantu
kedua belah pihak dalam pemilihan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah dan penyusunan
tata acara pemisahan.
(4) Putusan juru pemisah atau dewan pemisah sesudah disahkan oleh Panitia Pusat mempunyai kekuatan
hukum sebagai putusan Panitia Pusat.
(5) Panitia Pusat hanya dapat menolak pengesahan, jikalau ternyata putusan tadi melampaui kekuasaan juru
atau dewan pemisah atau di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukkan itikad buruk atau yang
bertentangan dengan undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
(6) Akibat-akibat penolakan pada ayat (5) diatur oleh Panitia Pusat.
Pasal 20
(1) Putusan tersebut memuat:
a. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian tersebut dalam Pasal 19 ayat (2);
b. ikhtisar dari tuntutan-tuntutan, balasan-balasan serta penjelasan-penjelasan lebih lanjut dari kedua
belah pihak;
c. pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu;
d. pokok putusan.
(2) Putusan tersebut diberi tanggal, dibubuhi nama tempat di mana putusan itu diambil dan ditandatangani
oleh juru pemisah atau oleh anggota-anggota dewan pemisah.
Pasal 21
Terhadap putusan juru pemisah/dewan pemisah tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan.
Pasal 22
(1) Jika perlu untuk melaksanakan suatu putusan juru/dewan pemisah yang sudah disahkan oleh Panitia
Pusat, maka oleh pihak yang bersangkutan dapat dimintakan pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, supaya putusan
itu dinyatakan dapat dijalankan.
(2) Sesudah dinyatakan dapat dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri, maka putusan itu dilaksanakan
menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.
Bagian VI
Tentang Ketentuan-Ketentuan Lain
Pasal 23
(1) Menjelang atau selama berlangsung usaha-usaha penyelesaian perselisihan menurut undang-undang ini
majikan dan buruh dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat atau berupa pembalasan.
(2) Termasuk perbuatan-perbuatan yang bersifat atau berupa pembalasan antara lain perubahan hubungan
kerja, syarat-syarat perburuhan dan/atau keadaan perburuhan yang ada, yang justru sedang menjadi
perselisihan.
(3) Tindakan-tindakan demikian adalah tidak sah.
Pasal 24
Bilamana dalam waktu pelaksanaan persetujuan majikan atau pengurus atau pimpinan berganti, maka majikan
baru atau pengurus atau pimpinan baru tetap terikat pada persetujuan yang telah tercapai dalam penyelesaian
perselisihan menurut undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Barang siapa diminta bantuannya oleh Pegawai, Panitia Daerah, Panitia Pusat, Panitia Enquete, juru atau
dewan pemisah atau Menteri Perburuhan guna penyelidikan untuk keperluan penyelesaian perselisihan
berdasarkan undang-undang ini, berkewajiban untuk memberikannya dengan tiada bersyarat, begitu pula
atas permintaan berkewajiban membukakan buku-buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Barang siapa dipanggil oleh pejabat-pejabat atau badan-badan tersebut pada ayat (1) untuk, menjadi
saksi atau ahli, berkewajiban untuk memenuhi panggilan itu dan memberikan keterangan atau jasanya,
jika perlu di bawah sumpah.
(3) Saksi dan ahli yang memenuhi panggilan dapat menerima penggantian kerugian dan ongkos jalan
menurut peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
(4) Barang siapa yang di dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan undang-undang ini
mengetahui sesuatu yang harus dirahasiakan, wajib merahasiakannya kecuali jika dalam menjalankan
tugas kewajiban itu, ia perlu memberitahukannya.
Bagian VII
Tentang Aturan Hukuman
Pasal 26
Dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu
rupiah:
1. barang siapa melanggar Pasal 6 ayat (3);
2. barang siapa melakukan tindakan setelah ada:
a. putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat seperti dimaksud pada Pasal 8 ayat (3);
b. putusan Panitia Pusat seperti dimaksud pada Pasal 13;
c. putusan juru/dewan pemisah seperti dimaksud pada Pasal 19;
d. putusan Menteri Perburuhan tersebut pada Pasal 17.
3. barang siapa tidak tunduk pada putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dan tidak dapat
dimintakan pemeriksaan ulangan lagi seperti termaksud pada Pasal 10 ayat (1);
4. barang siapa tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat yang dapat mulai dilaksanakan termaksud pada
Pasal 13;
5. barang siapa tidak tunduk pada putusan Menteri Perburuhan tersebut pada Pasal 17;
6. barang siapa menolak perantaraan atau penyelesaian seperti dimaksud pada Pasal 1 8 ayat (12) atau
melanggar Pasal 1 8 ayat (5);
7. barang siapa tidak tunduk pada putusan juru/dewan pemisah yang telah mempunyai kekuatan hukum
termaksud pada Pasal 19 ayat (4);
8. barang siapa tidak memenuhi kewajiban menurut Pasal 25 ayat (1) dan (2).
Pasal 27
(1) Jika sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam undang-undang ini dilakukan oleh sesuatu badan
hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan serta hukuman dijatuhkan terhadap pengurus atau
pemimpin-pemimpin badan hukum atau perserikatan itu.
(2) Jika pimpinan badan hukum atau perserikatan dipegang oleh badan hukum atau perserikatan lain, maka
ketentuan pada ayat (1) berlaku bagi pengurus badan hukum atau perserikatan yang memegang
pimpinan itu.
Pasal 28
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya menurut Pasal 25 ayat
(4) dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya
dua puluh ribu rupiah.
(2) Barang siapa karena kekhilafannya menyebabkan rahasia itu terbuka, dihukum dengan hukuman
kurungan setinggi-tingginya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.
(3) Tidak ada tuntutan terhadap hal-hal pada ayat (1) dan (2) kecuali jika ada pengaduan dari yang
berkepentingan.
Pasal 29
Hal-hal yang diancam dengan hukuman pada Pasal 26 dianggap sebagai pelanggaran, pada Pasal 28 ayat (1)
dan (2) sebagai kejahatan.
Pasal 30
Selain daripada pegawai-pegawai yang pada umumnya diwajibkan mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman, diwajibkan juga mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman menurut
undang-undang ini, pegawai-pegawai Kementrian Perburuhan yang ditunjuk oleh Jaksa Agung pada Mahkamah
Agung atas usul Menteri Perburuhan.
Bagian VIII
Ketentuan Peralihan
Pasal 31
(1) Perselisihan perburuhan yang pada saat mulai berlakunya undang-undang ini berada di tangan Panitia
Daerah dan Panitia Pusat menurut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 dilanjutkan
penyelesaiannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Ketentuan-ketentuan peralihan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian IX
Ketentuan Terakhir
Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari yang ditetapkan kemudian dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 8 April 1957
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUKARNO
Diundangkan
Pada Tanggal 8 April 1957
MENTERI KEHAKIMAN, ai
Ttd.
SUNARYO
MENTERI PERBURUHAN,
Ttd.
SABILAL RASJAD
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1957 NOMOR 42


PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1957
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN
MENGENAI USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN
UMUM
1. Dalam menjelaskan dasar-dasar dan alasan-alasan undang-undang ini, sebagai kata pendahuluan akan
diberikan ikhtisar ringkas tentang riwayat penyelesaian perselisihan perburuhan di negeri kita dalam
waktu yang singkat sebelum pengakuan kedaulatan dan sesudahnya.
Dalam waktu yang singkat sebelum pengakuan kedaulatan perselisihan-perselisihan perburuhan belum
meningkat kepada taraf yang penting. Ini disebabkan karena pada waktu itu seluruh rakyat, juga kaum
buruh dan organisasi-organisasinya, sibuk mencurahkan tenaga dan perhatiannya kepada perjuangan
kemerdekaan, yaitu perjuangan yang bersifat politis. Lagi pula dalam Republik pada waktu itu
perusahaan-perusahaan penting dikuasai oleh Negara sehingga pertentangan antara buruh dan majikan
tidak begitu terasa.
Perselisihan-perselisihan perburuhan yang besar dan penting yang disertai pemogokan-pemogokan mulai
timbul setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum buruh dan rakyat pada umumnya dengan penuh
kesadaran akan harga pribadi sendiri mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan dalam
lapangan sosial-ekonomi. Sampai permulaan tahun 1951 negara kita belum mempunyai peraturan
tertentu untuk menyelesaikan masalah tersebut, pada waktu itu perselisihan-perselisihan perburuhan
diurus dan diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri (majikan dan buruh), di mana perlu
dicampuri oleh pegawai-pegawai Kementrian Perburuhan di pusat dan di daerah berdasarkan instruksiinstruksi
dari Menteri Perburuhan.
Cara kerja demikian itu tidak memberikan hasil yang diinginkan dan inilah yang mendorong Pemerintah
untuk mengadakan peraturan tertentu tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
2. Dalam menghadapi kegelisahan di lapangan perburuhan yang mulai menghebat, Pemerintah pada bulan
Pebruari 1951 sebagai usaha pertama telah mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer No. 1 tahun 1951
untuk mengatasi keadaan pada waktu itu.
Di dalam pertimbangannya dikemukakan bahwa pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
membutuhkan jaminan keamanan dan ketertiban, bahwa pemogokan pada umumnya dan pemogokan
khususnya dalam perusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan dan badan-badan vital dapat mengganggu
keamanan dan ketertiban umum yang membahayakan negara, bahwa perlu diadakan larangan terhadap
pemogokan di perusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan dan badan-badan vital dan akhirnya bahwa
perlu pula diadakan aturan supaya perselisihan antara buruh dan majikan dari perusahaan-perusahaan,
jawatan-jawatan dan badan-badan lainnya dapat diselesaikan sedemikian, sehingga keamanan dan
ketertiban tidak terganggu.
Dalam praktek ternyata bahwa Peraturan itu hanya sanggup mengatasi sebagian saja kesulitan-kesulitan
yang timbul dalam lapangan perburuhan.
3. Berhubung dengan itu maka Pemerintah pada bulan September 1951 sebagai usaha yang kedua dalam
daya-upayanya untuk memecahkan kesulitan-kesulitan perburuhan secara lebih memuaskan telah
memaklumkan. Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, yang meskipun belum sempurna, tetapi
sudah merupakan perbaikan banyak, bila dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer.
Undang-undang Darurat itu mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Pusat dan menetapkan peraturanperaturan
baru tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam sejarah selama kurang lebih lima tahun Undang-undang Darurat itu dapat menyelesaikan hampir
semua perselisihan-perselisihan perburuhan besar dan kecil dan sanggup menurunkan jumlah-jumlah
pemogokan sampai ke angka yang sekecil-kecilnya sebagai ternyata dari statistik- statistik yang diadakan
untuk keperluan itu.
Jadi, ditinjau dari sudut kesanggupan untuk menstabilisasi keadaan perburuhan dapat dikatakan bahwa
Undang-undang Darurat itu berhasil baik, jumlah jam kerja yang hilang dan kerugian yang diakibatkannya
dalam lapangan produksi turun sampai ke angka yang kecil sekali.
Akan tetapi hasil-hasil dari Undang-undang Darurat itu menjadi kurang artinya karena Undang-undang
tersebut masih kurang disenangi oleh buruh maupun majikan.
Berhubung dengan itu, Pemerintah Wilopo dalam keterangannya dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan: "Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 sebagai pengganti Peraturan Larangan Mogok
dan lock-out dari pihak kekuasaan militer dan yang mengatur cara-cara penyelesaian perselisihan
perburuhan itu, hanya bersifat peraturan peralihan belaka.
Pemerintah mengakui bahwa Undang-undang Darurat tersebut masih perlu diperbaiki dan
disempurnakan.
Sekarang Pemerintah sedang menyiapkan suatu Undang-undang yang denifitif tentang hal itu.
Tetapi sebelum undang-undang baru yang akan menggantikan Undang-undang Darurat itu diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Kabinet Wilopo telah jatuh terlebih dahulu.
Kabinet Ali-Wongso yang menggantikan Kabinet Wilopo, dalam penjelasan programnya mengenai soalsoal
perburuhan di hadapan Dewan Perwakilan rakyat di antaranya mengemukakan: "Telah dimaklumi
oleh Pemerintah, bahwa Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 mengenai perselisihan perburuhan
tidak disenangi oleh sebagian dari buruh.
Ternyata di dalam praktek bahwa dengan adanya Undang-undang Darurat itu ada setengah buruh dan
setengah pengusaha tidak mau berunding dan menyerahkan saja penyelesaian perselisihan kepada P-4.
Hal yang demikian itu tentu tidak menambah pengertian yang baik antara buruh dan pengusaha. Maka
karena itu Pemerintah akan segera mencabut Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951 itu dan
mengajukan suatu rancangan Undang-undang yang akan menetapkan ketentuan-ketentuan baru tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan dengan dasar-dasar baru, antara lain mewajibkan buruh dan
pengusaha merundingkan masak-masak perselisihan mereka terlebih dahulu sebelum mengajukan
perselisihan itu kepada instansi pemerintah.
Melihat lemahnya kedudukan setengah serikat buruh dibandingkan dengan kedudukan yang kuat dari
pada pengusaha besar, percampuran tangan Pemerintah dalam penyelesaian perselisihan perburuhan
kiranya masih diperlukan, meskipun percampuran tangan itu tidak lagi mendalam seperti yang dikerjakan
oleh P-4 sekarang."
4. Berhubung dengan adanya keberatan-keberatan baik dari pihak buruh maupun dari pihak majikan,
Kementrian Perburuhan telah berulang-ulang mengadakan pertukaran pikiran dengan organisasiorganisasi
buruh dan majikan.
Dari pihak organisasi buruh disarankan dua macam tindakan :
a. mencabut Undang-undang Darurat tersebut;
b. mencabut Undang-undang Darurat itu dengan disertai penggantinya yang sifatnya lebih demokratis,
lebih menjamin hak-hak asasi dan menguntungkan buruh.
Dari pihak majikan, sunguhpun dimajukan keberatan-keberatan juga, tidak terdengar saran-saran yang
konkrit mengenai isi perubahan atau pengganti Undang-undang Darurat No. 16 itu.
Pada hakikatnya keberatan-keberatan itu sebagian besar berpangkal pada peninjauan soal-soalnya
semata-mata dari sudut kepentingan yang bersangkutan, sedangkan Pemerintah sebagai wakil dari
seluruh rakyat dalam masyarakat, yang terdiri dari golongan-golongan dan kalangan-kalangan yang
kepentingannya bersangkut-paut, harus memimpin dalam kepentingan yang bersamaan dan
mendamaikan dalam kepentingan yang bertentangan, yang sudah barang tentu tidak dapat memuaskan
sepenuhnya semua pihak.
Akan tetapi di samping oposisi dari banyak serikat buruh dan keberatan-keberatan dari pihak pengusaha,
yang tempo-tempo memang berisi inti dari kebenaran, juga Pemerintah telah mengalami banyak hal yang
menyebabkan Pemerintahpun menemui kesukaran-kesukaran dalam melaksanakan penyelesaian
perselisihan perburuhan menurut Undang-undang Darurat itu.
Kesukaran-kesukaran dan kekecewaan-kekecewaan itu antara lain adalah :
a. dalam mengajukan tuntutan dan menyelesaikan perselisihan, pihak-pihak yang bersangkutan, oleh
karena hubungan yang kurang baik disebabkan berbagai hal, terlalu banyak menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada alat-alat Pemerintah sedang pihak-pihak yang bersangkutan
terlalu bersikap pasif. Keadaan yang demikian itu kurang bersifat mendidik bagi pertumbuhan
hubungan yang baik antara buruh dan majikan dan pertumbuhan pergerakan buruh yang sehat,
kuat dan baik.
b. kegiatan P-4 pusat atau P-4 daerah serta prosedur penyelesaian perselisihan sekarang ini
menyebabkan organisasi-organisasi buruh kurang sempurna menyusun tuntutan-tuntutan mereka,
demikian juga memperjuangkannya, tuntutan mereka acapkali tidak terang, dan acapkali juga tidak
memuat inti persoalan yang dituntut.
c. berhubung dengan terlalu banyak perselisihan besar dan kecil yang diserahkan untuk diselesaikan,
maka pekerjaan alat-alat Pemerintah (P-4) acapkali berada dalam keadaan tergesa-gesa karena
senantiasa dikejar waktu.
d. Pemerintah (Kementrian Perburuhan) terlalu menjadi bulan-bulanan dari segala kritik. Mengingat ke
semua itu maka Pemerintah sekarang untuk ketiga kalinya berusaha menyusun suatu Undangundang
yang diharapkan dapat lebih memuaskan keinginan-keinginan yang timbul dan hidup dalam
masyarakat mengenai penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam Undang-undang yang baru ini tetap diusahakan penyelesaian perselisihan-perselisihan
perburuhan secara cepat dan efektif, tetapi juga sangat diperhatikan beberapa prinsip yang menjadi
kepentingan asasi pergerakan buruh sedangkan kepentingan-kepentingan kaum pengusaha pun tidak
diabaikan.
5. Cara dan tingkat-tingkat penyelesaian perselisihan perburuhan menurut Undang-undang ini adalah
sebagai berikut:
a. Undang-undang ini hanya meliputi penyelesaian perselisihan antara majikan dan Serikat Buruh,
perselisihan antara majikan dan buruh, perseorangan dan sekelompok buruh tidak diliputi oleh
Undang-undang ini.
b. Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Undang-undang ini ialah bahwa dalam
tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus sendiri menyelesaikan kesukaran-kesukaran
mereka dalam lapang perburuhan dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua belah
pihak.
Bila perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan, persetujuan itu disusun
menjadi suatu perjanjian perburuhan. Bila perundingan itu tidak memberikan hasil, pihak-pihak
yang berselisih menempuh jalan arbitrase yang diatur lebih lengkap dalam Undang-undang ini.
Bila arbitrase tidak dikehendaki, mereka dapat minta perantaraan dari Pegawai Kementrian
Perburuhan yang khusus ditunjuk untuk itu.
Permintaan perantaraan dilakukan dengan surat yang pula berisi pernyataan bahwa perundingan
langsung antara kedua pihak tidak memberikan hasil serta mereka tidak bermaksud untuk
menyerahkan perselisihannya kepada juru/dewan pemisah.
Segera setelah menerima pemberitahuan itu, Pegawai mencoba mendamaikan kedua pihak
Bila menurut Pegawai daya upayanya tidak (akan) berhasil, perantaraan selanjutnya diserahkan
kepada Panitia Daerah.
Dalam hal perundingan yang dilakukan di bawah pimpinan Pegawai/Panitia Daerah menghasilkan
persetujuan. Persetujuan itu disusun merupakan suatu perjanjian perburuhan.
Bila tidak tercapai persetujuan, Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang berupa anjuran.
Dalam hal-hal tertentu, yaitu bila perselisihan sukar untuk diselesaikan dengan suatu anjuran,
Panitia Daerah berhak juga memberikan putusan yang bersifat mengikat.
Terhadap putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat, dalam 14 hari dapat dimintakan
pemeriksaan ulangan pada Panitia Pusat, kecuali bila putusan itu mengenai soal-soal yang khusus
bersifat lokal, hal mana ditentukan oleh Panitia Pusat. Jika putusan mengikat dari Panitia Daerah
yang tidak dapat dibanding lagi, tidak ditaati secara sukarela, pelaksanaannya dapat dimintakan
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa
putusan itu akan dijalankan.
Untuk selanjutnya putusan itu dilaksanakan menurut aturan yang berlaku untuk melaksanakan
suatu putusan perdata.
Selanjutnya, siapa yang tidak tunduk pada putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat dan tidak
dapat dibanding lagi, dapat pula dituntut secara hukum pidana.
Bila suatu perselisihan perburuhan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan
umum, Panitia Pusat dapat menarik perselisihan perburuhan itu dari tangan Pegawai atau Panitia
Daerah untuk diselesaikan.
c. Putusan Panitia Pusat semuanya bersifat mengikat dan terhadapnya tidak dapat dimintakan
banding. Hanya sebagai hak kecualian dalam hal-hal tertentu Menteri Perburuhan dapat
membatalkan atau menunda pelaksanaan putusan Panitia Pusat. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menggunakan hak veto sebagai berikut :
1. pembatalan (penundaan pelaksanaan) itu perlu untuk memelihara ketertiban umum serta
melindungi kepentingan-kepentingan Negara.
2. pembatalan (penundaan pelaksanaan) harus didahului oleh perundingan dengan Menterimenteri
yang Kementriannya mempunyai wakil dalam Panitia Pusat.
3. hak veto harus dipergunakan dalam waktu 14 hari sesudah penanggalan keputusan Panitia
Pusat.
Jika Menteri Perburuhan menggunakan hak vetonya, ia harus mengatur sendiri akibat-akibatnya dalam suatu
keputusan.
Keputusan itu jika perlu dapat dilaksanakan menurut cara untuk melaksanakan putusan Panitia Pusat.
Jika putusan Panitia Pusat yang dapat mulai dilaksanakan tidak ditaati secara sukarela, pelaksanaannya dapat
dimintakan kepada Pengadilan Negeri di Jakarta oleh yang berkepentingan.
Untuk selanjutnya putusan itu dilaksanakan menurut aturan yang berlaku untuk melaksanakan suatu putusan
perdata.
Selanjutnya siapa yang tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat yang mulai dapat dilaksanakan, dapat pula
dituntut secara hukum pidana.
Jika suatu pihak hendak melakukan tindakan, maka maksud itu harus diberitahukan dengan surat kepada pihak
lawan serta kepada Panitia Daerah. Tindakan baru dapat dilakukan setelah diterima surat tanda penerimaan
pemberitahuan.
Surat tanda penerimaan pemberitahuan itu oleh Ketua Panitia Daerah hanya diberikan bila ternyata, bahwa:
1. telah diadakan perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan dengan pihak lawan
yang diketuai atau diperantarai oleh Pegawai;
2. pihak lawan menolak untuk mengadakan perundingan;
3. pihak yang hendak melakukan tindakan telah dua kali dalam jangka waktu 2 minggu, tidak berhasil
mengajak pihak lainnya untuk berunding mengenai hal-hal pokok perselisihan.
Tindakan yang hendak/telah dilakukan hanya dapat diperintahkan ditunda, bila hendak diadakan enouete.
Selanjutnya majikan dan buruh dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat atau berupa
pembalasan.
Tindakan-tindakan demikian adalah tidak sah.
Panitia Daerah/Pusat disusun berdasarkan asas tripartite; perbandingan wakil Pemerintah/Buruh/Majikan dalam
Panitia Daerah adalah 5:5:5 dan dalam Panitia Pusat juga 5:5:5.
Untuk mempertinggi derajat Panitia Pusat maka pengangkatan/ pemberhentian anggota-anggotanya dilakukan
oleh Dewan Menteri dengan surat keputusan Presiden. Anggota-anggota Panitia Daerah diangkat/diperhentikan
oleh Menteri Perburuhan.
Akhirnya akan diberikan ikhtisar mengenai perbedaan antara Undang-undang ini dengan Undang-undang
Darurat No. 16/1951:
1. Perselisihan perburuhan dibatasi hingga Serikat Buruh saja (pasal 1 , ayat 1, sub. c).
2. Perundingan yang diwajibkan antara pihak-pihak yang berselisih (pasal 2, jo. pasal 6, ayat 4).
3. Susunan dari P-4 Daerah dirubah: Yang diwakili sekarang hanya Kementrian Perburuhan, Kementrian
Perekonomian, Kementrian Keuangan, diwakili juga kepentingan-kepentingan buruh dan majikan (pasal 5,
ayat 2).
4. Tenggang waktu 3 minggu tidak dimuat lagi (pasal 6).
5. P-4 Daerah dalam hal-hal tertentu berhak memberikan keputusan mengikat (pasal 8 ayat 3).
6. Permintaan pemeriksaan ulangan kepada P-4. Pusat hanya mungkin terhadap perselisihan-perselisihan
yang tidak khusus bersifat lokal (pasal 11).
7. Semua keputusan-keputusan dari P-4 Pusat bersifat mengikat (pasal 13).
8. Hak veto dari Menteri Perburuhan (pasal 13,jo. pasal 17).
9. Pengangkatan dan pemberhentian dari anggota-anggota P-4. Pusat oleh Dewan Menteri dengan surat
Keputusan Presiden (pasal 12, ayat 2).
10. Susunan P-4 Pusat dirubah anggota-anggotanya tidak lagi terdiri dari Menteri-menteri, tetapi dari wakilwakil
lima Kementrian dan wakil-wakil buruh dan majikan (tripartite; pasal 12).
11. Hak untuk mengadakan suatu enquete tidak lagi pada Menteri Perburuhan tetapi pada P-4 Pusat c.q. P-4
Daerah (pasal 18, ayat 1).
12. Kemungkinan untuk mengadakan angket diperluas (pasal 18 ayat 2).
13. Menjelang atau selama berlangsung perselisihan dilarang mengadakan tindakan-tindakan pembalasan
(pasal 23 ayat 1).
14. Jumlah aturan-aturan hukuman lebih banyak (pasal 26).
15. Tata cara diatur lebih luas (pasal 9, 14, 19, ayat 2 dan pasal 20).

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini memuat keterangan tentang istilah-istilah yang dipakai dalam Undang-undang ini.
Pasal 2
Sebagai telah diterangkan dalam penjelasan umum, undang-undang ini berpokok pangkal kepada asas, bahwa
daya upaya terutama untuk menyelesaikan perselisihan adalah permusyawaratan. Daya upaya lain baru dapat
dipikirkan, bila permusyawaratan langsung tidak memberikan hasil.
Baru dalam tingkat inilah ada alasan untuk minta percampuran tangan pihak ketiga.
Pasal 3
Tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 4
Tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 5
Tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 6
Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan suatu tindakan, sudah dijelaskan pada penjelasan umum.
Bila syarat itu dipenuhi, tindakan lantas dapat dilakukan.
Syarat itu lebih ringan dari apa yang tersebut dalam Undang-undang Darurat karena dulu pihak yang hendak
mengambil tindakan harus tunggu 3 minggu. Sekarang jangka waktu itu tidak ada sama sekali.
Pasal 7
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 8
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 9
Untuk menjamin kesatuan dalam putusan-putusan Panitia Daerah, maka di sini ditetapkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi.
Pasal 10
Karena menurut kenyataan masih timbul keragu-raguan tentang sikap apa yang harus diambil, bila pihak lain
menolak untuk melaksanakan putusan yang bersifat mengikat dan dapat mulai dilaksanakan, dianggap perlu
untuk menjelaskan, bahwa terhadap pihak yang lalai demikian dapat dilakukan sanksi pidana (lihat pasal 26)
maupun sanksi perdata, yaitu meminta kepada Pengadilan supaya putusan tersebut dinyatakan dapat
dijalankan. Berhubung dengan jalan-jalan yang dapat ditempuh ini, tidak perlu dan juga tidak pada tempatnya
untuk lantas mengadakan tindakan, bila pihak lawan tidak bersedia melaksanakan putusan demikian.
Pasal 11
Dalam memberi isi lebih lanjut kepada pengertian istilah "perselisihan khusus bersifat lokal" dapat dipilih antara
dua cara:
Isi pengertian itu ditetapkan untuk seterusnya dalam suatu rumus abstrak yang harus dianggap meliputi semua
hal-hal, atau pemberian isi lebih lanjut kepada pengertian itu diserahkan kepada instansi yang memutus, yang
dapat memperhatikan semua hal-ihwal yang konkret dari soal yang dihadapi.
Cara pertama sifatnya statis dan tidak memungkinkan pertumbuhan berhubung dengan berubahnya keadaan.
Karena pengertian "perselisihan yang khusus bersifat lokal" dalam pelaksanaannya yang konkret mempunyai
unsur yang dinamis, maka di sini dipilih cara kedua. Tidak perlu dikhawatirkan, bahwa cara ini seolah-olah
memberi jalan kepada instansi yang memutuskan untuk bertindak sewenang-wenang.
Dalam waktu yang singkat tentu akan tumbuh jurisprudensi tertentu yang akan memberi cukup pegangan untuk
dijadikan pedoman, sedangkan penyesuaian pengertian itu kepada keadaan yang telah berubah, tidak
terhalang.
Selanjutnya susunan Panitia adalah sedemikian, sehingga kekhawatiran demikian tidak perlu timbul. Kadangkadang
suatu perselisihan perburuhan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum.
Dalam hal demikian penyelesaian dalam tingkat daerah mungkin tidak memberi jaminan untuk penyelesaian
secara integral yang memuaskan. Ayat 3 membuka kemungkinan untuk penyelesaian secara langsung oleh
Panitia Pusat dengan melewati Pegawai/Panitia Daerah.
Pasal 12
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 13
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 14
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 15
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 16
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 17
Setelah apa yang diuraikan dalam penjelasan umum, pasal-pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal 18
Acapkali suatu penyelesaian dipersukar oleh karena tidak cukupnya bahan-bahan atau karena bahan-bahan
yang dikemukakan demikian teknisnya, sehingga memerlukan penyelidikan lebih lanjut dari ahli-ahli dalam
lapang tertentu. Dalam hal demikian pembentukan Panitia Engeuete dapat memudahkan penyelesaian.
Pasal 19
Arbitrase ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu badan yang dipilih oleh
pihak-pihak yang berselisih.
Justru karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka sebagai salah satu
keuntungannya dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah adalah
lebih besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat negara.
Sampai sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh pihak-pihak yang berselisih,
mungkin karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk selanjutnya jalan ini
akan lebih sering ditempuh.
Dalam pada itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan arbitrase, dapat
membahayakan dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap putusan arbitrase
tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 20
Arbitrase ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu badan yang dipilih oleh
pihak-pihak yang berselisih.
Justru karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka sebagai salah satu
keuntungannya dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah adalah
lebih besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat negara.
Sampai sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh pihak-pihak yang berselisih,
mungkin karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk selanjutnya jalan ini
akan lebih sering ditempuh.
Dalam pada itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan arbitrase, dapat
membahayakan dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap putusan arbitrase
tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 21
Arbitrase ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu badan yang dipilih oleh
pihak-pihak yang berselisih.
Justru karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka sebagai salah satu
keuntungannya dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah adalah
lebih besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat negara.
Sampai sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh pihak-pihak yang berselisih,
mungkin karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk selanjutnya jalan ini
akan lebih sering ditempuh.
Dalam pada itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan arbitrase, dapat
membahayakan dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap putusan arbitrase
tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 22
Arbitrase ialah penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan seorang atau suatu badan yang dipilih oleh
pihak-pihak yang berselisih.
Justru karena juru/dewan pemisah dipilih oleh yang berkepentingan sendiri, maka sebagai salah satu
keuntungannya dapat dikemukakan bahwa kepercayaan mereka terhadap putusan juru/dewan pemisah adalah
lebih besar daripada terhadap putusan yang dipaksakan dari atau oleh alat-alat negara.
Sampai sekarang menurut kenyataan jalan ini masih jarang sekali ditempuh oleh pihak-pihak yang berselisih,
mungkin karena cara ini belum begitu dikenal.
Berhubung dengan keuntungan sebagai dikemukakan di atas, dapat diharap bahwa untuk selanjutnya jalan ini
akan lebih sering ditempuh.
Dalam pada itu arbitrase diatur lebih sempurna dalam undang-undang ini.
Keleluasaan pihak-pihak yang berselisih yang tidak terbatas untuk menyanggah putusan arbitrase, dapat
membahayakan dasar-dasar arbitrase itu sendiri. Maka karena itu ditetapkan bahan terhadap putusan arbitrase
tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Hanya sebagian perkecualian kepada Panitia Pusat diberikan hak
memperhatikan putusan arbitrase dalam hal-hal tertentu saja.
Pasal 23
Ketentuan seperti dalam pasal ini perlu ditetapkan supaya jangan terjadi perbuatan-perbuatan yang bersifat
pembalasan.
Pasal 24
Maksud pasal ini ialah untuk menjamin supaya persetujuan/ keputusan yang telah tercapai tidak menjadi hampa
belaka dengan penggantian majikan atau pengurus/pimpinan baru yang menyatakan tidak bertanggung-jawab
terhadap perbuatan-perbuatan majikan atau pengurus/pimpinan lain.
Pasal 25
Dengan sendirinya pemukaan buku-buku sebagai dimaksudkan di sini, dilakukan terhadap orang (orang) yang
ahli dalam soal pembukuan, yang untuk ini ditunjuk oleh Pegawai, Panitia Daerah, Panitia Pusat, Panitia
Enquete, jurus (dewan) pemisah atau Menteri Perburuhan.
Pasal-pasal selanjutnya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Diketahui
MENTERI KEHAKIMAN a.i
Ttd.
SOENARJO
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1227





0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More